Langsung ke konten utama

Menggandeng Rasa Takut!


<span>Photo by <a href="https://unsplash.com/@thoughtcatalog?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Thought Catalog</a> on <a href="https://unsplash.com/photos/89JYqPG7P94?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Unsplash</a></span>
Photo by Thought Catalog on Unsplash

    Sejak pandemi Covid-19, saat semua orang diwajibkan untuk #dirumahaja (meskipun ada juga yang tidak bisa melakukannya karena situasi dan kondisi hidup yang tidak mudah), saya begitu terkesima menyaksikan banyak sekali teman yang menghasilkan konten kreatif dan menarik di lini massa, baik itu YouTube, Instagram, podcast, dll. Webinar dan pertemuan-pertemuan online juga bak jamur pohon sehabis musim hujan, lumayan banyak bermunculan :D Oh ya, awalnya saya juga berpikir, bagaimana saya bisa contribute something di masa-masa pandemi ini ya.. sebenarnya waktu itu ada beberapa ide yang muncul, tapi karena kuliah masih berjalan dan tugas kuliah lumayan banyak juga, akhirnya niat tinggallah niat :)

    Terus, sekarang sedang jeda sebelum masuk semester baru ka.. niatnya gak dilaksanakan? Nah.. itu dia masalahnya.. tapi sekaligus menjadi hal yang ku syukuri. Kok bisa? Ok.. jadi sebagai seorang introvert (tapi gaul -- lebih ke ambivert sebenarnya), saya senang dengan acara #diasramaaja. Saya menikmati sungguh dan senang karena tidak tiap hari ketemu orang banyak. Kalaupun ada kelas online, that’s fine karena bisa matiin video. Lalu karena energi saya tidak terkuras banyak untuk bertemu orang, jadi teralihkan untuk memikirkan diri sendiri, evaluasi diri, dan mengenal diri. Surprisingly, ternyata berjumpa dengan banyak bagian diri yang tidak ideal. Motivasi yang sering keliru, respons yang kurang proper, dan kelemahan-kelemahan lainnya.

    Satu hal yang saya highlight adalah tentang “rasa takut”. Perasaaan takut rupanya cukup besar dalam diri saya, bahkan kerap jadi momok dan menghambat untuk melakukan banyak hal. Perasaan takut ini, berkaitan dengan bagaimana saya memandang diri saya. Jadi, saya masih ada kecenderungan untuk menilai diri saya berharga berdasarkan hasil atau kinerja saya. Kalau melakukan sesuatu dan hasil OK, saya merasa bangga pada diri. Sebaliknya, kalau hasil tidak terlalu OK (atau tidak sesuai ekspektasi saya), maka saya akan merasa diri buruk dan tidak berharga. Penyebabnya, ada beberapa kemungkinan, salah satunya adalah lingkungan dimana saya dibesarkan yang cenderung memberi reward positif atas pencapaian saya dan kurang memberi ruang toleransi untuk kesalahan saya. Ini bisa jadi satu cerita sendiri sih, bersama dampak-dampaknya yang lain bagi diri saya :D

    So, lanjut tentang rasa takut.. jadi, karena saya meletakkan nilai diri pada kinerja, maka saya takut banget sama penilaian orang. Secara gak sadar, tiap kali mau melakukan sesuatu entah itu hal besar atau hal kecil, yang terlintas di kepala adalah “apa kata orang ntar?”, “gimana respons orang ya?” dll, seolah-olah orang di sekitarku adalah hakim atas hidupku, tapi intinya adalah saya kuatir dengan penilaian orang. Padahal sebenarnya, kadang orang juga gak peduli (dasar sayanya aja yang GR kali ya.. wkwkwk). Selain itu, saya juga takut penolakan dari orang lain. Saya pikir, kalau orang menilai saya buruk, saya pasti akan dijauhi dan ditolak gitu. Padahal, jika untuk satu hal orang menilai kita buruk (halusnya: mengkritik), belum tentu dia menilai kita buruk dalam semua hal. Lagian, penilaian orang juga tidak selamanya tepat kok.. nah, tapi itu kan pikiran kalau udel (Jawa: pusar) lagi di tengah alias lagi waras.. kalau lagi gak waras, susah euh..

    Lanjutt.. Itu sebabnya, kalau mau berpendapat atau melakukan sesuatu, mikirnya bisa lama. Dalam pengambilan keputusan pun jadi sulit karena takut salah dan takut pada resiko dari keputusan yang akan diambil tersebut. Tidak jarang, ide sudah bagus dan matang tapi tidak dijalankan karena perasaan takut lebih menguasai dibanding keberanian untuk mewujudkan ide yang baik tersebut. Meskipun sangat baik untuk memikirkan segala sesuatu dengan matang sebelum melangkah, tapi kalau yang mengatur adalah rasa takut, maka perlu dikikis dan diselesaikan. Sebab kalau terus menerus demikian, kita akan menjadi pribadi yang tidak berani keluar dari zona nyaman, tidak berani mencoba sesuatu yang baru. Seperti kata Les Brown, “Too many of us are not living our dreams because we are living our fears.” ku rasa, bukan cuma dalam mencapai mimpi, tapi tentu saja akan menghambat kita dalam mentaati dan melakukan panggilan Tuhan atas hidup kita. Ketakutan bisa menghambat kita untuk taat, jika tidak diselesaikan.

    Sebagai seorang Kristen, saya belajar bahwa rasa takut itu harus dihilangkan karena bisa jadi bukti saya kurang iman atau belum percaya penuh pada Tuhan Yesus. Ya, kita memang sering mendengar ungkapan bahwa ada 360-an ayat di Alkitab kita yang mengatakan “jangan takut”, artinya setiap hari kita perlu mengingatkan diri untuk tidak takut. Tapi, jangan lupa bahwa Alkitab juga mencatat ketakutan dari orang-orang percaya. Buktinya, pemazmur tidak jarang mengungkapkan rasa takutnya pada Tuhan, Yakub takut menghadapi Esau, kakaknya. Contoh lain, Abraham takut mati sehingga meminta Sarah untuk berbohong, Yusuf takut mengambil Maria jadi istrinya, murid-murid Tuhan Yesus ketakutan menghadapi badai padahal mereka satu perahu dengan Tuhan Yesus, dan banyak contoh lainnya. Bahkan, Tuhan Yesus sendiri juga dicatat mengalami ketakutan (gentar) di Taman Getsemani sebelum disalibkan. Jadi apa artinya? Alkitab memberi tahu kita bahwa tokoh-tokoh Alkitab, bahkan Tuhan Yesus sendiri, pun mengalami ketakutan. Artinya, bukan hal yang salah ketika kita juga sebagai manusia, mengalami ketakutan. Hanya saja, apa yang kita harus perbuat dengan ketakutan itu? Bagaimana menyelesaikannya?

    Tentu bukan terjadi dalam semalam saja ya bapak-ibu.. :P mungkin satu langkah demi satu langkah, tapi tidak masalah. Bagi saya sendiri, memulai dengan mengakuinya (pada diri sendiri, Tuhan, dan sahabat dekat). Terkadang, untuk mengakui ada ketakutan pun, itu butuh keberanian. Tapi percayalah, pengakuan adalah awal pemulihan. Akui kepada orang yang tepat, akan menolong kita untuk membangun keberanian sedikit demi sedikit. Pengakuan akan membuat kita menyadari, dan selanjutnya belajar menerima rasa takut itu. Dengan menerimanya, saya mulai bisa memahami penyebab ketakutan yang muncul tersebut. Apakah saya takut karena harga diri saya terusik, atau ketakutan yang masih dalam tahap wajar? Dengan begitu, kita lebih siap menghadapinya dengan langkah yang lebih konkrit. Lagipula, saya belajar bahwa keberanian bukannya ketiadaan rasa takut, tetapi menghadapi rasa takut itu sendiri adalah sebentuk keberanian. Kadang juga, yang diperlukan untuk menyelesaikan rasa takut adalah menggandengnya dan terus melanjutkan perjalanan hidup kita, seperti nasihat bahwa hidup itu bukan sekedar menunggu badai berlalu, tetapi bagaimana belajar menari dalam hujan.

    Yah, ini bagian yang saya syukuri.. ada kesempatan untuk mengenal diri sendiri, dan memutuskan untuk menulis kisah ini adalah bagian dari langkah konkrit saya untuk menggandeng dan menghadapi rasa takut sendiri. Kali ini, saya tidak akan membiarkan rasa takut lebih besar dari keinginan untuk berbagi kisah kepada orang lain. Tapi jangan tanya, berapa lama jarak dari ide nulis sampai realisasinya.. haha.. biar aku dan Tuhan saja yang tahu :D saya juga belajar kalau rasa takut itu menjadi kesempatan untuk melatih iman percaya saya kepada Tuhan, seperti kata pemazmur : waktu aku takut, aku ini percaya. Dalam menghadapi rasa takut, saya belajar percaya bahwa Tuhan tidak meninggalkan saya, dan bahwa saya dikasihi oleh-Nya. Penyertaan dan kasih Tuhan, adalah modal yang besar bagi jiwa yang penakut ini. So, bagi sobatku yang sedang takut, kamu tidak sendirian. Aku juga masih banyak lapisan ketakutan yang perlu dikuliti.. mari kita berjuang bersama, dan menggunakan anugerah yang Tuhan sudah sediakan bagi kita untuk menghadapi rasa takut itu, hingga akhirnya bisa berkata: dear my fear, let’s walk together!

Kamu, Semangat!!

Komentar

  1. Semangat terus Eka.. Dengan menuliskan kamu sudah melalui beberapa proses..Menyadari, memikirkan, menganalisa, mengucapkan dalam hati lalu menuliskan.. Bahkan mungkin ada proses lain. Menulis sangat efektif sebagai media untuk proses semakin mengenal diri.. 🤗❤

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thank you so much kaka konselor panutanku :) :>

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kok Masih Single?

Dari skala 0-10, seberapa greget  kamu dengan pertanyaan ini? (0 sangat tidak greget , 10 sangat amat greget ) :D sila dijawab sendiri .. 😉😅 Photo by Alex Blăjan on Unsplash Yup, pertanyaan ini merupakan salah satu pertanyaan yang umumnya bikin greget hingga greget bingizt,  dihindari, dan atau dikategorikan sebagai pertanyaan yang sensitif. Sebagian besar orang beranggapan bahwa status dalam berelasi merupakan ranah pribadi bagi mereka, sehingga tampak kurang sopan jika mencoba membahas hal tersebut. Karena itu, menanggapi pertanyaan ini juga muncul beragam respons yang menurut hemat saya, kadang kala bukan untuk menjawab pertanyaannya, tetapi lebih kepada “menghindar” a.k.a ngeles. Namun, tujuannya bisa dipahami juga sih, yaitu supaya tidak dibahas lebih lanjut, dan mungkin ada juga yang ingin memberikan “efek jerah” kepada orang-orang yang menanyakan hal tersebut. Well , apapun motif di balik respons yang diberikan, bukan itu yang ingin saya bahas. saya juga tidak sedang ingin men

Jangan takut, percaya saja.. :D

Kisah seorang kepala rumah ibadat bernama Yairus.. dia datang kepada Yesus dan meminta Yesus untuk menyembukan anaknya yang sedang kritis (hampir mati).. Yesus menerima permintaan Yairus, dan mereka pun berangkat... tapi, di perjalanan, ada banyak halangan ternyata yang menyebabkan mereka tidak sampai dengan cepat di rumah Yairus.... PERTAMA.. dalam perjalanan ini, Yesus diikuti oleh orang banyak. orang banyak itu berbondong - bondong dan berdesak-desakan, dan yang pasti itu akan menghalangi jalan mereka untuk bisa cepat sampai di rumah Yairus.. KEDUA... dalam perjalanan itu, seorang perempuan yang mengalami sakit pendarahan selama 12 tahun, memberanikan diri menyentuh jubah Yesus dan berharap dapat sembuh dari penyakitnya itu.. dan ajaib benar bahwa dia sembuh seketika... :-D tapi ceritanya tidak berhenti di situ... Yesus yang dijamah jubahNYA, merasakan ada kuasa keluar dari diriNYA dan Yesus berhenti lalu melihat sekelilingnya untuk mencari orang yang menyentuh jubahNYA.. pere