Langsung ke konten utama

Si Kecil di Mata Allah yang Maha Besar.




Suatu hari, dalam kapel pagi di kampus, Liturgos membuka ibadah pagi dengan meminta kami yang hadir untuk menutup mata dan membayangkan suasana di Aula. Selanjutnya, kami diminta untuk membayangkan diri berada di lantai tertinggi di kampus dan mengamati orang-orang yang ada di Aula meskipun mulai kurang nampak. Semakin lama, Liturgos meminta kami untuk membayangkan posisi yang semakin tinggi dan makin jauh dari Aula, bahkan membayangkan hingga seolah-olah kami sedang berada di luar angkasa. Kemudian Liturgos mengakhiri aktivitas ini dengan menyatakan bahwa kita tentu tidak bisa lagi melihat orang-orang yang ada di Aula karena sudah terlalu jauh, bahkan bumi yang besar ini pun hanya akan terlihat seperti titik yang kecil dari luar angkasa. Anehnya, kita yang kecil dan bahkan tak kelihatan di semesta ini, sungguh dicintai dan dikasihi oleh Allah yang Maha Besar.

Aktivitas dalam kapel tersebut mencoba untuk menghadirkan kesadaran di dalam diri kami yang hadir pada saat itu, akan realitas keberadaan sebagai manusia di hadapan Allah. Saya secara pribadi memaknai momen pagi itu dengan bersyukur kepada Allah yang Maha Besar dan penuh kasih kepada saya yang kecil dan lemah ini. Akan tetapi, muncul pertanyaan tentang siapa sebenarnya kita di hadapan Allah sehingga Dia mengasihi kita? Untuk apa Allah menciptakan kita dan mengizinkan kita untuk ada di dunia ini? Apakah akan ada perbedaan jika kita tidak pernah diciptakan? Mungkin masih ada banyak pertanyaan lain yang terbersit dalam benak kita ketika memikirkan realitas keberadaan kita sebagai manusia dan keberadaan di hadapan Allah Sang Pencipta yang Maha Besar itu.

Pertanyaan tentang manusia bukanlah pertanyaan yang baru muncul di abad ini. Sejak lama, para filsuf juga telah memikirkan dan mengajukan pertanyaan tentang apa dan siapakah manusia ini sesungguhnya. Socrates, salah seorang filsuf yang terkenal gemar mencari hikmat yang mendalam, nampaknya menetapkan pengenalan akan diri sendiri sebagai tujuan yang utama sehingga Socrater begitu terobsesi untuk mencapai tujuan ini. Socrates mencoba menjawab pertanyaan tentang siapakah manusia dengan memutuskan untuk memiliki pikiran yang independent mengenai dirinya sendiri. Sederhananya, manusia adalah seorang individu yang mampu berpikir tentang dirinya sendiri. Rene Descartes menjawabnya dengan berkata “Cogito ergo sum” karena memaknai keberadaannya sebagai “a thing which thinks” sehingga baginya, dia ada karena dia berpikir. Selain Socrates dan Descartes, para pemikir yang lain pun mencoba mencari jawaban atas pertanyaan ini dan memberikan beragam jawaban sesuai dengan pemahaman mereka masing-masing.

Akan tetapi, jawaban-jawaban tersebut tetap menyisakan ruang misteri dan upaya manusia terus berlanjut untuk memahami siapa dirinya sesungguhnya. Karena itu, lahirlah ilmu yang secara khusus berupaya memahami manusia, yang disebut antropologi. Di antara sekian banyak pandangan atau teori mengenai manusia, teori evolusi merupakan teori yang cukup diminati. Teori ini mencoba menghadirkan berbagai pendapat mengenai asal-usul manusia. Pendapat yang terkenal adalah bahwa manusia berasal dari keturunan langsung spesies manusia kera, seperti yang dikemukakan oleh Darwin. Hal ini disetujui juga oleh Lamarck dengan mengatakan bahwa nenek moyang manusia adalah kera. Dengan kata lain, manusia dianggap sebagai keturunan dari binatang yang lebih rendah, yang melewati proses-proses alamiah untuk menjadi makin sempurna. Mereka mendasarkan asumsi ini dengan pengamatan mereka akan beberapa kesamaan yang dapat ditemukan pada binatang dan manusia. Namun, teori ini pada akhirnya tetap tidak dapat membuktikan secara positif mengenai asumsinya bahwa manusia berasal dari binatang.

Sekalipun kita sebenarnya tidak perlu heran mengenai adanya beberapa persamaan antara manusia dan binatang, oleh karena kisah penciptaan telah mencatat hal tersebut. Dalam kisah penciptaan, manusia dan binatang adalah sama-sama ciptaan Tuhan, sama-sama diberkati, dan mendapat perintah yang sama untuk berkembang biak. Akan tetapi, adanya persamaan tersebut tidak lantas dapat menjadi dasar untuk menyimpulkan bahwa manusia berasal dari binatang. Asumsi dari teori evolusi ini jelas tidak sama dengan kebenaran Iman Kristiani yang dinyatakan di dalam Alkitab oleh karena penciptaan manusia memiliki tempat yang istimewa dibanding penciptaan binatang.

Ciri paling khas dari Alkitab mengenai manusia adalah pengajaran bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah sendiri. Namun, apa maksudnya? Frasa “diciptakan menurut gambar dan rupa Allah” atau dalam bahasa latin adalah Imago Dei memiliki pengertian bahwa manusia ciptaan Tuhan ini adalah memiliki keserupaan dan merupakan gambaran dari diri-Nya sendiri. Karenanya, teologi Reformed menyatakan bahwa hanya Allah saja sebagai pencipta manusia yang berhak dan layak menyatakan siapa manusia itu sesungguhnya, untuk apa diciptakan, dan seperti apa manusia ini harus menjalani kehidupannya.

Lalu bagaimana kita mengetahui kita dapat mengetahui kehendak Tuhan bagi manusia? Teologi Reformed meyakini bahwa Allah dapat berbicara dan menyatakan diri-Nya melalui wahyu atau penyataan umum dan penyataan khusus. Penyataan umum bisa melalui alam ciptaan, sejarah, maupun hati nurani. Sementara penyataan khusus adalah melalui Firman Tuhan yaitu Alkitab dan melalui Yesus Kristus. Berbicara mengenai manusia sebagai ciptaan Tuhan, maka dapat ditelusuri melalui penyataan khusus, yakni melalui kebenaran Firman Tuhan. Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, semuanya membicarakan tentang manusia sebagai makhluk ciptaan yang serupa dan segambar dengan penciptanya.

Pernyataan dalam Perjanjian Lama yang secara gamblang menyatakan manusia sebagai gambar dan rupa Allah adalah melalui kisah Penciptaan, di dalam Kitab Kejadian 1:26-28. Bagian lain adalah Kejadian 5:1-3, yang mencatat manusia diciptakan menurut rupa Allah. Sementara itu, Kejadian 9:6 mencatat manusia sebagai gambar Allah. Penulisan kata gambar dan rupa secara terpisah pada kedua bagian ini tidak menjadi persoalan yang terlalu penting oleh karena gambar dan rupa dapat digunakan sebagai kata yang sinonim. Hal yang serupa juga dapat ditemui dalam Kitab Perjanjian Baru. Kata “gambar” dan “kemuliaan” dapat kita temukan dalam 1 Kor. 11:7, sementara Kol. 3:10 menuliskan kata “gambar”, dan Yak. 3:9 hanya menulis kata “rupa”. Hal ini menegaskan bahwa kata “gambar” dan “rupa” dapat dipakai secara bergantian di dalam Alkitab. Kedua frasa ini memberikan pengertian yang sangat penting bahwa manusia adalah sungguh-sungguh gambar Allah. Keserupaan manusia dengan Allah, mencakup seluruh aspek hidup manusia dan seluruh kapasitas serta keberadaannya. Keyakinan ini sangatlah penting karena gambar dan rupa Allah merupakan sebuah kualitas yang menentukan keistimewaan manusia dalam hubungannya dengan Allah dan menjadi bukti nyata bahwa manusia tidaklah sama dengan binatang dan semua makhluk yang lainnya. Karenanya, Alkitab sendiri juga mencatat dalam Maz. 8 bahwa Allah yang menjadikan manusia yang hina ini, hampir sama dengan Allah bahkan memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Pemahaman ini juga sekaligus menjadi kabar gembira dan penghiburan bagi kita bahwa sekalipun kita kecil, kita istimewa dan berharga di mata Allah yang Maha Besar, sebagaimana yang tercatat di dalam Yes 43:4.

Lalu apa sebenarnya tujuan Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya? Teologi Reformed meyakin bahwa manusia diciptakan bukan karena kebetulan atau kecelakaan tetapi dengan suatu tujuan yakni untuk menikmati dan memuliakan Allah. Katekismus Westminster pada pertanyaan yang pertama memberikan pengajaran yang jelas mengenai hal ini dengan menyatakan bahwa “tujuan tertinggi hidup manusia adalah untuk memuliakan dan menikmati Allah selama-lamanya”. Memuliakan dan menikmati Allah ini dapat terjadi dalam relasi antara Allah dengan manusia. Manusia yang dicipta dalam gambar dan rupa Allah sendiri, melebihi ciptaan lain, dan memiliki kapasitas untuk menjalin relasi dengan Allah.

Memuliakan Allah berarti menganggap Allah itu mulia dan memperlakukan Allah sebagaimana mestinya, yakni Allah yang layak dimuliakan. Memuliakan dan menikmati Allah adalah sebuah keniscayaan bagi manusia, oleh karena memuliakan Allah adalah respons kita sebagai makhluk ciptaan kepada Allah yang mencipta kita. Respons ini juga sekaligus menjadi pengakuan bahwa keberadaan kita di hadapan Allah hanyalah sebagai makhluk ciptaan dan Dia adalah pencipta kita. Ketika kita memaknai tujuan hidup yakni untuk memuliakan Allah, maka tidak ada satu situasi pun dalam hidup kita yang mana di dalamnya kita bisa memilih untuk tidak memuliakan Allah atau menolak relasi dengan Allah. Ketika manusia menolak untuk memuliakan Allah, berarti manusia telah menolak eksistensi dan keberadaannya di hadapan Allah, serta tidak mengakui bahwa dirinya hanyalah ciptaan sedang Allah sendirilah satu-satunya pencipta yang berdaulat atas hidupnya. Menolak memuliakan Allah, berarti juga bahwa menolak relasi dengan Allah yang telah sedemikian mengasihi kita.

Saya pernah "menolak" memuliakan Allah dengan berpikir bahwa tidak ada sesuatu yang baik dalam hidup ini untuk dipersembahkan bagi kemuliaan-Nya. Keterbatasan-keterbatasan yang ditemui di dalam diri, membuat saya berpikir bahwa saya tidak cukup layak untuk memuliakan-Nya. Namun, ketika berjumpa dengan kebenaran bahwa saya adalah gambar dan rupa Allah dan Allah mengasihi saya, hidup saya perlahan-lahan mulai diubahkan-Nya. Saya semakin menyadari bahwa sebagai ciptaan Allah yang segambar dan serupa dengan-Nya, memuliakan Allah adalah pilihan satu-satunya untuk kita kerjakan di dalam hidup kita.

Sekalipun gambar dan rupa Allah di dalam diri kita telah rusak akibat dosa, namun kematian Kristus telah mengembalikan dan memulihkannya. Karena itu, kita dapat tetap hidup memuliakan Allah dengan memilih hidup untuk menjadi pengikut Kristus yang sejati. Sebagai pengikut Kristus yang sejati, kita bukan sekedar percaya, bukan sekedar ikut-ikutan, dan bukan sekedar beribadah, melainkan kita memiliki pengenalan yang benar dan relasi yang intim dengan Allah melalui Yesus Kristus.

Ketika kita memilih untuk menjadi pengikut Kristus, maka hidup kita akan mengalami transformasi yang bukan sekedar tampak luar tetapi sampai ke kedalaman hidup kita. Transformasi ini akan menjadi nyata dalam relasi kita yang diwarnai dengan kasih yang tulus kepada Tuhan dan kepada sesama. Atas dorongan kasih ini, kita yang kecil namun berharga di mata Allah yang besar, dapat terlibat mengerjakan misi-Nya di dunia ini. Misi tersebut adalah membawa kebenaran-Nya kepada orang lain, dan membawa orang lain untuk mengalami relasi dengan Allah sendiri. Dengan demikian, hidup kita meskipun nampak kecil, dapat menjadi alat untuk menyatakan kemuliaan Allah yang Maha Besar, yang telah mencipta kita segambar dan serupa dengan-Nya.

Sumber:
Berkof, Louis. Teologi Sistematika, Volume 2: Doktrin Manusia. Terj. Yudha Thianto. Surabaya: Momentum. 2015.

Hoekema, Anthony A. Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah. Terj. Irwan Tjulianto. Surabaya: Momentum. 2008.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kok Masih Single?

Dari skala 0-10, seberapa greget  kamu dengan pertanyaan ini? (0 sangat tidak greget , 10 sangat amat greget ) :D sila dijawab sendiri .. ๐Ÿ˜‰๐Ÿ˜… Photo by Alex Blฤƒjan on Unsplash Yup, pertanyaan ini merupakan salah satu pertanyaan yang umumnya bikin greget hingga greget bingizt,  dihindari, dan atau dikategorikan sebagai pertanyaan yang sensitif. Sebagian besar orang beranggapan bahwa status dalam berelasi merupakan ranah pribadi bagi mereka, sehingga tampak kurang sopan jika mencoba membahas hal tersebut. Karena itu, menanggapi pertanyaan ini juga muncul beragam respons yang menurut hemat saya, kadang kala bukan untuk menjawab pertanyaannya, tetapi lebih kepada “menghindar” a.k.a ngeles. Namun, tujuannya bisa dipahami juga sih, yaitu supaya tidak dibahas lebih lanjut, dan mungkin ada juga yang ingin memberikan “efek jerah” kepada orang-orang yang menanyakan hal tersebut. Well , apapun motif di balik respons yang diberikan, bukan itu yang ingin saya bahas. saya juga tidak sedang ingin men

Menggandeng Rasa Takut!

Photo by  Thought Catalog  on  Unsplash      Sejak pandemi Covid-19, saat semua orang diwajibkan untuk #dirumahaja (meskipun ada juga yang tidak bisa melakukannya karena situasi dan kondisi hidup yang tidak mudah), saya begitu terkesima menyaksikan banyak sekali teman yang menghasilkan konten kreatif dan menarik di lini massa, baik itu YouTube, Instagram, podcast, dll. Webinar dan pertemuan-pertemuan online juga bak jamur pohon sehabis musim hujan, lumayan banyak bermunculan :D Oh ya, awalnya saya juga berpikir, bagaimana saya bisa contribute something di masa-masa pandemi ini ya.. sebenarnya waktu itu ada beberapa ide yang muncul, tapi karena kuliah masih berjalan dan tugas kuliah lumayan banyak juga, akhirnya niat tinggallah niat :)      Terus, sekarang sedang jeda sebelum masuk semester baru ka.. niatnya gak dilaksanakan? Nah.. itu dia masalahnya.. tapi sekaligus menjadi hal yang ku syukuri. Kok bisa? Ok.. jadi sebagai seorang introvert (tapi gaul -- lebih ke ambivert sebenarnya), s

Jangan takut, percaya saja.. :D

Kisah seorang kepala rumah ibadat bernama Yairus.. dia datang kepada Yesus dan meminta Yesus untuk menyembukan anaknya yang sedang kritis (hampir mati).. Yesus menerima permintaan Yairus, dan mereka pun berangkat... tapi, di perjalanan, ada banyak halangan ternyata yang menyebabkan mereka tidak sampai dengan cepat di rumah Yairus.... PERTAMA.. dalam perjalanan ini, Yesus diikuti oleh orang banyak. orang banyak itu berbondong - bondong dan berdesak-desakan, dan yang pasti itu akan menghalangi jalan mereka untuk bisa cepat sampai di rumah Yairus.. KEDUA... dalam perjalanan itu, seorang perempuan yang mengalami sakit pendarahan selama 12 tahun, memberanikan diri menyentuh jubah Yesus dan berharap dapat sembuh dari penyakitnya itu.. dan ajaib benar bahwa dia sembuh seketika... :-D tapi ceritanya tidak berhenti di situ... Yesus yang dijamah jubahNYA, merasakan ada kuasa keluar dari diriNYA dan Yesus berhenti lalu melihat sekelilingnya untuk mencari orang yang menyentuh jubahNYA.. pere